Kunjungan yang ketiga adalah kunjungan terakhir si Boru Tumandi. Itu bermula dari ibunda Boru Tumandi yang bersikukuh ikut serta dalam perjalanan sang putri dan menantunya. “Menantuku, kali ini Ibunda harus ikut ke negerimu. Sudah sekian lama kamu berumah-tangga dan keadaannya baik-baik saja, tapi Ibu tidak mengetahui di mana rumahmu,” ujar Ibunda si Boru Tumandi. “Ibu, kami sangat menyayangi Ibu dan Bapak. Perjalanan kami ini sangatlah berat. Tidak baik bagi Ibu yang sudah berumur ini. Kami pun khawatir akan terjadi hal-hal yang membahayakan keselamatan Ibu. Kami takut itu akan membuat perpisahan selamanya.” kata sang menantu. “Tidak menantuku. Sudah kuputuskan harus ikut bersamamu dan tinggal beberapa lama di sana,” kata Ibunda tetap bertahan dengan keputusannya. Karena Ibu mertuanya memaksa, maka sang menantu tak kuasa untuk menolaknya. Akhirnya si menantu menjawab dengan sedih. Si Boru Tumandi pun meneteskan air mata. Dia paham benar akan apa yang bakal terjadi. “Kalau begitu keputusan Ibu, baiklah, asalkan jangan menyesal di kemudian hari. Bawalah dedak padi sebakul penuh, dan sepanjang jalan taburkanlah dedak itu. Dedak-dedak itu akan menuntun Ibu untuk pulang agar tidak tersasar,” begitu syarat yang diberikan si menantu.
Dan Ibu mertuanya menuruti syarat itu. Setelah bertangis-tangisan, pagi-pagi buta mereka berangkat. Berjalan kaki menyusuri jalanan. Mereka kemudian masuk hutan yang gelap. Perjalanan hening dan mencekam. Masing-masing dipenuhi pikiran kacau. Menjelang lewat tengah hari, sampailah mereka di tepi sungai yang sangat deras airnya. Si Ibu tertegun sejenak, matanya memandang ke sekelilingnya. Mencari barangkali ada jembatan penghubung. Ia bertanya dengan suara lirih yang hampir tidak terdengar. “Masih jauhkah rumahmu anakku?” Sang Putri tidak menjawab. Hanya air matanya yang mengalir semakin deras. Sepanjang hari ditahannya kesedihan yang amat sangat. Dia merasakan hari itu adalah hari terakhir dia bertemu dengan Ibunda tercinta. Juga hari akhir dia melihat Ayahanda yang selalu memanjakannya. Ibundanya menghibur, tetapi belum mengerti makna tangis anaknya itu. Pada saat itulah kaki Si Boru Tumandi melangkah masuk air bersama anak dan suaminya. Pada saat yang sama semuanya berubah menjadi ular yang besar-besar. Sang putri, anak menantunya, juga cucu-cucunya. Mereka semua berubah wujud menjadi ular.
Baca Juga:
Bupati Samosir Serahkan 9 Unit Ambulance di Perayaan Paskah Oikumene
Sejenak sang Ibunda kebingungan. Dia seperti bermimpi. Ketika sadar, Ibu ini melihat ke kiri dan ke kanan. Hanya ada kesunyian yang mencekam. Di tengah hutan lebat yang gelap dan menakutkan, yang terdengar hanya suara air bergemuruh. Mengalir deras tak berbatas. Ibunda Si Boru Tumandi mulai menjerit histeris. Hanya suara air itu yang terdengar. Sang Ibu pun berlari sekencang-kencangnya mengikuti dedak yang tadi pagi telah ditaburkannya sepanjang jalan. Hari makin gelap. Sampai di rumah, Ibu ini sudah setengah pingsan. Setelah sekian hari, Ibu ini baru dapat menceritakan apa yang disaksikannya. Kisah itu diceritakan pada suami, dan juga sanak saudaranya yang beberapa hari selalu menungguinya. Mendengar itu Raja Hutabarat merasa terpukul. Dia menyesali kesombongan mencari menantu gagah perkasa dan sakti melebihi manusia biasa. Kisah itu membuatnya terkejut.
Akhirnya Raja Hutabarat menggelar ritus. Dia mengumpulkan Raja-raja Hutabarat lainnya untuk mengadakan pesta gondang dan tarian. Ini digelar selama tujuh hari tujuh malam. Untuk memohon belas kasihan Sang Pencipta agar tidak lagi memberikan putri-putri yang sangat cantik kepada Hutabarat. Doa permohonan Raja-raja Hutabarat mendapat jawaban dari Sang Pencipta. Mulai hari itu, di saat permohonan dinaikkan, maka tidak lagi lahir anak-anak gadis dari Hutabarat yang sangat cantik. Walaupun kenyataannya, sampai pada zaman ini keturunan Hutabarat masih terlihat paling prima dibanding yang lain.
Si Boru Natumandi, karena kecantikannya, dan karena keinginan Raja Hutabarat, sang Ayah, akhirnya dinikahi mahluk halus. Sampai hari ini, nama itu tetap dikenang di kalangan Hutabarat. Hingga saat ini, sungai tersebut juga masih mengalir. Sungai itu dinamakan Boru Tumandi. Sungai yang tenang dan biasa disebrangi dengan mudah karena tidak dalam. Banyak anak-anak bermain di sana sekadar mencari ikan. Juga para wanita yang mencuci pakaian sambil bercanda. Namun perlu hati-hati. Jangan mencoba tertawa terbahak-bahak di sana. Itu dipercaya bisa membuat mulut orang yang melakukannya menjadi miring.[bgr]
Baca Juga:
Hari Otonomi Daerah Ke-28 Turut Diperingati Pemkab Samosir